Stres sepertinya menjadi momok bagi banyak orang. Apalagi sebuah studi mengatakan ketakutan atau kekhawatiran bahwa stres akan mengganggu kondisi kesehatan seseorang benar-benar bisa menyebabkan orang yang bersangkutan jatuh sakit.
Bahkan menurut peneliti, peningkatan persepsi stres ini membuat risiko seseorang untuk mengalami serangan jantung menjadi dua kali lipat. Kesimpulan ini didasarkan dari pengamatan terhadap 7.000 PNS selama 18 tahun.
Partisipan yang berusia rata-rata 49,5 tahun ini pun diminta untuk mengungkapkan seberapa besar pengaruh stres yang mereka rasakan dari hari ke hari terhadap kondisi kesehatan mereka. Selain itu partisipan ditanyai tentang faktor gaya hidupnya seperti kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, pola makan dan olahraga berikut latar belakang medis partisipan.
Kemudian peneliti memantau seberapa fatal serangan jantung yang dialami partisipan selama studi.
Seperti dilansir Daily Mail, Sabtu (29/6/2013), dari situ terlihat bahwa partisipan yang merasa stres akan membahayakan kesehatannya secara ekstrim diketahui berisiko dua kali lipat mengalami serangan jantung dibandingkan partisipan yang menganggap stres tak memberikan signifikansi apapun. Jumlah partisipan kategori ini mencapai 8 persen.
Bahkan setelah mempertimbangkan faktor lain yang dianggap mampu mempengaruhi temuan ini, peneliti tetap menemukan adanya risiko sebesar 49 persen bagi orang-orang yang mengkhawatirkan stresnya.
"Menariknya, keterkaitan yang kami temukan antara persepsi seseorang bahwa stres berdampak terhadap kondisi kesehatannya dan risiko serangan jantung mereka ternyata terlepas dari faktor biologis, perilaku tak sehat dan faktor psikologis lainnya," tandas ketua tim peneliti, Dr Hermann Nabi dari institut riset Inserm, Villejuif, Prancis.
"Yang jelas pesan penting dari temuan kami ini adalah persepsi orang-orang tentang dampak stres terhadap kondisi kesehatan tampaknya benar-benar terjadi. Padahal kemampuan merespons stres antara satu orang dengan lainnya itu berbeda-beda, tergantung pada sumber daya yang mereka miliki, seperti dukungan sosial, aktivitas sosial dan pengalaman stres sebelumnya," lanjutnya.
Dr Nabi menambahkan dengan begitu di lain waktu para dokter harus mempertimbangkan respons stres masing-masing pasien dalam rangka menanggulangi penyakit yang dideritanya atau melakukan langkah pencegahan dengan membantu memanajemen stres pasien.